Thursday, November 25, 2010

SUDAMALA UNTUK MERUWAT BATIN


Bagian akhir pementasan Sendratari Ruwatan Sudamala Episode Tundhung Kala Durga di halaman Balaikota Yogyakarta, Jumat (8/9) malam, diisi dengan berjejalnya ratusan orang di atas panggung. Mereka rela dipotong sedikit rambut kepalanya dan diciprati air agar mendapat berkat.
Kula menika pitados sedaya mawon ingkang becik (saya percaya hal-hal yang baik),” begitu komentar Mbah Sumiati (61), warga Semaki, Kota Yogyakarta, dengan gembira seusai turun dari panggung setelah rela berdesak-desakan.

Mbah Sumiati yang datang bersama sejumlah tetangganya ini juga merasa beruntung karena mendapat sejumput kembang melati, salah satu uba rampe dari sendratari yang dipentaskan oleh Paguyuban Pringgosari (Karanganyar, Jawa Tengah) bersama Dinas Pariwisata kabupaten ini.
Dengan bersemangat, Mbah Sumiati yakin bahwa apa yang didapatnya itu menjadi semacam berkat yang berkorelasi erat dengan keinginannya untuk sembuh dari penyakit darah tinggi dan asam urat yang sudah cukup lama dideritanya.
“Ning, ampun klentu, kula menika nggih tasih pitados sanget kaliyan agama kula (Tetapi, jangan salah karena saya jelas masih percaya dengan agama saya),” ujar Mbah Sumiati, yang beragama Kristiani ini.
KRHT Haryono, abdi dalem Keraton Surakarta, yang dalam pementasan sendratari tersebut bertindak sebagai narator mengatakan, sendratari ini tidak berurusan dengan hal-hal yang mistis. Bagian akhir sendratari yang disebut ruwatan itu hanya sebatas pemaknaan simbolis.
“Kesenian di zaman sekarang perlu makna praktis. Dalam arti, apa sih yang kita butuhkan di situ. Percikan air di kepala itu hanya simbol saja. Maknanya sendiri adalah tentang menjaga kesegaran alam, dan air itu perlambang kesegaran,” tuturnya.
Demikian juga tentang prosesi pemotongan rambut kepala yang kemudian dibakar di atas anglo kecil. Menurut Haryono, rambut yang dipotong (digunting)-beberapa sentimeter dan beberapa helai itu-adalah pemaknaan bahwa sifat tinggi hati manusia haruslah “dipotong” dan ditinggalkan.
“Rambut adalah juga perlambang diri kita yang sial atau apes. Dalam budaya Jawa, untuk membuang sial adalah dengan cara dibakar. Waktu yang paling pas adalah saat purnama sidhi (bulan bulat sempurna), ya seperti malam ini. Makanya jauh hari kami meminta panitia tidak menggeser hari pementasan,” kata Ignatius Joko Suyanto, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar yang juga pemimpin rombongan.
Ruwatan Sudamala ini bukan kesenian lama karena baru lahir tahun 2004 digarap oleh koreografer Arie Kuntet Kuntarto. Meski demikian, sendratari ini sudah menjadi keunggulan budaya Kabupaten Karanganyar. Inspirasi memunculkan sendratari itu, kata Joko, adalah dari kisah-kisah yang terpapar pada relief Candi Sukuh di Karanganyar.
Candi Sukuh merupakan candi Hindu yang dibangun pada 1437 M oleh Brawijaya V, penguasa terakhir Kerajaan Majapahit. Candi itu sendiri dipercaya dulu sebagai tempat ruwatan-ruwatan. “Relief pada candi itu banyak bercerita tentang kisah Sudamala,” kata Joko.
Itulah yang diangkat dalam sendratari. Sebenarnya ada dua versi tentang Sudamala. Versi pertama yang diangkat dalam Sendratari mengisahkan ketika suatu hari, Sang Hyang Jagad Girinata (Betara Guru/Betara Shiwa) gundah hatinya setelah melihat Dewi Uma yang tengah beristirahat di gunung. Kemolekan dan kecantikan Dewi Uma sungguh membuat Betara Guru terkesima.
“Pertahanan” Dewi Uma runtuh sehingga perbuatan tidak senonoh (bersetubuh) antara mereka terjadilah. Namun, takdir menentukan lain. Betara Guru yang mengetahui perilaku Uma yang tidak pernah puas dan selingkuh lantas mengutuknya menjadi Betari Durga, raksasa perempuan yang buruk rupa dan berperangai jahat. Wajahnya baru dapat kembali seperti semula apabila diruwat Sadewa, si bungsu kembar Pandawa. Sadewa ini meruwat dengan menyampaikan cerita kebajikan.
“Selain versi di atas, ada versi lain. Yakni, suatu saat Betara Guru sakit dan untuk obatnya adalah segelas susu sapi. Istrinya, Dewi Uma, disuruh turun ke dunia untuk mencari, hingga suatu ketika Uma bertemu seseorang sedang menuntun sapi. Orang itu bersedia memberikan susu asal Uma mau tidur dengannya. Uma menyanggupi karena ingin mendapat obat (susu sapi) itu. Namun, ternyata orang itu penjelmaan Betara Guru yang menguji Dewi Uma,” tutur Joko.
Relief candi
Sudamala adalah kisah yang penggalannya terpahat dalam Candi Sukuh, Karanganyar, Jateng. Kalau Candi Sukuh dibuat pada akhir Majapahit seputar abad 14, berarti kisah Sudamala ini sudah berusia lebih 5 abad.
Selain membawa langsung salah satu tiruan bagian relief candi itu dan meletakkannya di panggung, persiapan sendratari ini juga tergolong rumit dan njlimet. Seperti uba rampe yang antara lain adalah aneka hasil bumi mesti dicuci dulu di sebuah sendang di lereng Gunung Lawu.
Sebelum upacara ritual, yakni Malam Rebo Legi, para pemain (penari)- yang jumlahnya sekitar 30 orang-naik bersama ke pertapaan Pringgondani dengan jalan kaki selama dua jam. Lokasi pertapaan itu berada di lereng Gunung Lawu sebelah barat dan berketinggian 3.000 meter. Mereka harus mandi di salah satu mata air yang suhunya bisa 10 derajat Celsius. “Mandi ini melambangkan bahwa untuk ngruwat, manusia mesti ‘bersih’ dulu,” tutur Joko.
Sendratari ini, menurut Joko dan Haryono, dimaksudkan untuk meruwat spiritual dan batin manusia. Hal-hal yang “bersih” akan mampu melakukan hal itu. Seperti air pada mata air di Lawu-yang tidak tercemar-merupakan hal yang bersih dan baik. Air yang dicipratkan ke kepala itu juga diambilkan dari tujuh mata air di sana.
Pentas ini memang penuh nuansa simbol, dan semuanya dibungkus dengan tarian. Bahkan, seorang penari menampilkan atraksi menyemburkan api dari mulut. “Mengapa ada api, itu karena api adalah bagian alam. Api memberi penerangan. Selain api, ada tanah, air, dan udara,” ujar Joko.
Elemen-elemen ini yang perlu dipelihara. Dalam bahasa sederhana, manusia perlu meruwat diri agar menghargai alam semesta dan sesama dengan sadar. Seperti momen gempa, mestinya bisa mengajak manusia bergegas meruwat. Meruwat batin dan spiritualnya.
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0609/11/jogja/28586.htm
◄ Newer Post Older Post ►
 

Copyright 2011 Kisah dunia