Monday, December 6, 2010

Perselisihan Dua Raja Jawa (part 2)


Perselisihan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Sultan Hamengku Buwono X (HB X) yang menjadi bahan gunjingan warga Yogyakarta saat bencana Gunung Merapa terjadi, menjadi terkuak ketika pemerintah membicarakan materi RUU Keistimewaan Yogyakarta.

"Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi," kata SBY usai rapat dengan Menteri Dalam Negeri yang membahas tentang RUU Keistimewaan Yogyakarta, Jumat (26/11/2010) pekan lalu. 

Pernyataan itu tidak hanya mendapat reaksi keras dari rakyat DIY, tetapi juga Sultan. "Saya tidak tahu yang dimaksud dengan sistem monarki yang disampaikan pemerintah pusat. Pemda DIY ini sama sistem dan manajemen organisasinya dengan provinsi-provinsi yang lain, sesuai dengan UUD, UU, dan peraturan pelaksanaannya," kata Sultan HB X, Sabtu (27/11/2010).

Pascajatuhnya Orde Baru, Daerah Istimewa Aceh memiliki undang-undang, demikian juga dengan Jakarta, Papua dan Papua Barat yang merupakan daerah khusus. Wajar saja bila Yogyakarta memerlukan undang-undang yang menegaskan keistimewaannya. Maka pemerintah pun menyusun RUU Keistimewaan Yogyakarta. 

Bagaimana mengatur keistimewaan Yogyakarta dalam bentuk undang-undang, ternyata tidak mudah. Kontroversi sudah terjadi sejak pemerintah pusat mengagendakan penyusunan RUU pada 2005. Pangkal masalahnya adalah bagaimana kepala daerah dan wakil kepala daerah atau gubernur dan wakil gubernur DIY dipilih: ditetapkan sebagaimana terjadi selama ini, atau dipilih melalui pemilukada seperti daerah-daerah lain.

Jika gubernur dan wakil gubernur ditetapkan, dalam arti Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualaman otomatis menjadi gubernur, oleh sebagian kalangan dianggap bertentangan dengan konstitusi. Lihat Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi, "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis". 

Pasal itulah yang dipakai oleh SBY untuk menghilangkan monarki di DIY, karena gubernur harus dipilih melalui pemilu kada. Namun, pendapat SBY tersebut bukan berarti paling benar. 

Sebab pasal lain dalam UUD 1945, menegaskan bahwa negara mengakui keisitmewaan suatu daerah. Lihat Pasal 18B ayat (1) yang berbunyi, "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang".  

Jika Yogyakarta masih diakui sebagai daerah istimewa, sudah semestinya Sultan Yogya dan Adipati Pakualaman ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur. Sebab jika gubernur dan wakil gubernur DIY dipilih, maka keistimewaan Yogyakarta sesungguhnya tidak ada.

Jadi, benarkah pendapat SBY bahwa sistem monarki di Yogyakarta harus dihapuskan, karena dianggap bertentangan dengan konstitusi? Atau penetapan Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualaman sebagai gubernur dan wakil gubernur tetap dipertahankan, karena konstitusi juga menghargai kekhususan dan keistimewaan suatu daerah?

Di sinilah masalahnya, sebab perbedaan pendapat antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah DIY, antara beberapa elit Jakarta dengan rakyat Yogyakarta, sesungguhnya tidak lepas dari masalah pribadi antara SBY dan HB X. Mereka sering berbeda dalam banyak hal, juga terlibat persaingan politik sengit.

Jadi, kontroversi penyusunan RUU Keistimewaan Yogyakarta kali ini bukan sekadar soal bagaimana mengatur keisitimewaan Yogyakarta, tetapi juga soal persaingan atau perselisihan peribadi antara SBY dengan Sultan. Perselisihan pribadi elit yang akut ini sebetulnya bukan barang baru, seperti halnya terjadi antara Mega dengan SBY. Inilah kenyataan politik yang harus diterima: kedewasaan politik elit politik memang baru sampai di situ!
(diks/fay)
◄ Newer Post Older Post ►
 

Copyright 2011 Kisah dunia