Saturday, December 4, 2010

Presiden Minta Mendagri Presentasi UU Desa Sabtu, 27 November 2010


Menyikapi langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Mendagri Gamawan Fauzi untuk segera memberikan presentasi dalam rapat terbatas yang berlangsung di Kantor Presiden pada hari Jumat (26/11) ada beberapa pernyataan yang perlu mendapat perhatian secara khusus tentang desa. Mengenai RUU Desa, SBY mengatakan, perlu kembali melihat hakekat desa dalam undang-undang dasar dan prinsip pemerintahan yang efektif. Dengan demikian semua tugas pemerintahan berjalan baik (nasional.kontan.co.id). "Tidak karena muatan-muatan politik tertentu, kita telaah secara mendalam supaya apa yang paling tepat dalam UU tentang desa ini," tutup SBY
kabar(detiknews.com).

Rapat yang diselenggarakan presiden dengan agenda meminta presentasi Mendagri mungkin terkesan mendadak, namun hal ini mungkin diakibatkan oleh:
1.
semakin mendesaknya UU Keistimewaan Yogyakarta;
2. semakin mendesaknya UU Khusus Pemilihan Umum Kepala Daerah;
3. semakin mendesaknya evaluasi dan pengaturan otonomi daerah;
4. semakin kuatnya desakan elemen desa yang meminta secepatnya diundangkannya Undang-undang khusus tentang desa.

Desakan elemen desa dengan kepentingannya masing-masing, dengan caranya masing-masing dan dengan kekuatannya masing-masing. PPDI (Persatuan Perangkat Desa Indonesia) dengan harapan perangkat desa diangkat menjadi PNS, Parade Nusantara (Persatuan Rakyat Desa Nusantara) dengan tuntutan dana desa 10% dari APBN dan tidak ada periodisasi jabatan Kepala Desa tetapi dibatasi dengan usia pencalonan 60 tahun serta APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) dengan pokok tuntutan masa jabatan kepala desa dan otonomi desa.

Langkah PPDI terakhir yang sempat saya ikuti adalah dikirimnya surat kepada Mendagri pada tanggal 12 nopember 2010 dengan materi (1) mempertanyakan sejauh mana proses RUU Desa yang dijanjikan akan selesai bulan agustus 2010 lalu (2) mempertanyakan janji koordinasi depdagri dengan depkeu dan men PAN atas usulan PPDI pengangkatan perangkat desa menjadi PNS, dua ha tersebut adalah sesuai surat yang dibuat oleh kemendagri dengan Kop Surat Dirjen PMD pada tanggal 9 Juni 2010 hasil asi PPDI pada saat itu. Surat kepada menteri ini ditembuskan kepada (1).Ketua DPR RI, (2) Presiden Republik Indonesia, (3) Menteri Sekretaris Kabinet Republik Indonesia, (4) Kepala Unit Kerja Unit Kerja Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), (5) Dirjen PMD Depdagri, dan (6) Dirjen Kesbangpol Depdagri.
Adakah Hakekat Desa Dalam UUD

Mencermati yang disampaikan Presiden bahwa dalam penyusunan UU Desa harus memperhatikan pada hakekat desa menurut UUD, maka perhatian kita tidak bisa menemukan kata “desa” dalam UUD, hanya ada yang “mungkin” dimaksud hakekat desa adalah Pasal 18B ayat 2 yaitu “Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat serta hak hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang undang”.

Bagian undang-undang yang secara “implisit” menyebutkan desa sebagai sebuah struktur pemerintahan adalah Undang Undang No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP), dimana Pasal 7 ayat 2 menyebutkan Peraturan Daerah meliputi: (a) Peraturan Daerah provinsi, (b) Peraturan Daerah kabupaten/kota, dan (c) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat.

Dengan diakuinya keberadaan produk hukum desa dalam bentuk peraturan desa yang masuk dalam kelompok peraturan daerah, maka dapat diartikan bahwa desa adalah bagian dari tingkat otonomi yang harus mendapatkan perlakuan khusus. Desa adalah daerah otonomi tingkat III adalah sebuah semangat yang ada dalam UU ini. Semangat ini sejalan dengan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR-RI/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Dalam Tap MPR tersebut, disebutkan rekomendasi nomor 7 yaitu sebagai berikut: Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 UUD 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap provinsi, kabupaten/kota, desa / nagari / marga, dan sebagainya.

Desa Dalam Pemerintahan Yang Efektif

Dalam dimensi kewenangan ke depan desa perlu ditetapkan kewenangan dan posisinya. Pemerintah dan DPR perlu mempertegas apakah (1) Desa disiapkan sebagai sub-sistem Negara, maka diperlukan Peraturan tentang Desa sebagai entitas otonom dengan bagian/porsi urusan Daerah Otonom 3 Tingkat. Atau (2) Desa disiapkan sebagai sub-sistem Pemda. Apabila desa disiapkan sebagai sub sitem Pemda, maka harus disiapkan dan dirinsi dengan tegas urusan apa yang diserahkan dan bagaimana pengaturannya dan hal ini memiliki konsekwensi Desa bukan entitas yang otonom. Dan harus diidentifikasi: urusan / kewenangan Desa harus rinci, konkrit & limitatif.

Huntington dalam bukunya Political Order in Changing Societies (1968) menyebutkan efektifitas birokrasi dilihat dari perspektif administrasi publik, terletak pada salah satu atau keempat komponen birokrasi yang berikut:

1.
Institusi yang berhubungan dengan struktur organisasi, wewenang, tanggung jawab, hak dan kewajiban setiap posisi.
2. Prosedur dalam pelayanan, pengawasan, dan proses interaksi antar unit dan posisi.
3. Sumber daya aparatur yang berkaitan dengan penerimaan (rekrutmen), pendidikan, pelatihan, penugasan, mutasi, promosi, remunirasi, dan pensiun.
4. Kode etik kerja birokrasi yang mengikat untuk menjamin berfungsinya birokrasi dan terhindar dari berbagai konflik kepentingan.

Beberapa masalah yang dirasakan masih ada dan harus diselesaikan dalam upaya mewujudkan birokrasi yang efektif dan bersih antara lain:
1. Pengertian tentang administrasi publik;
2. Kelemahan institus;
3. Kelemahan dalam manajemen sumber daya aparatur;
4. Kelemahan prosedur kerja dan pelayanan;
5. Kelemahan dalam sistem hukum;
6. Korupsi

Jadi dalam hal penyelengaraan pemerintahan yang efektif yang dimaksudkan Presiden pastilah tidak hanya dalam pemerintah desa tetapi juga Kabupaten / Kota, Propinsi dan Pusat.

UU Desa Tidak Ada Muatan Politik
Adalah menarik mencermati pernyataan Presiden tentang "Tidak karena muatan-muatan politik tertentu, kita telaah secara mendalam supaya apa yang paling tepat dalam UU tentang desa ini,". Ini dapat diartikan bahwa presiden tidak menghendaki kekuatan politik menjadi dasar dalam penyusunan UU Desa semperti yang terjadi pada UU 32 tahun 2004 yang pada akhirnya melanggar amanat Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR-RI/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Dan yang menjadi penting untuk dicermati adalah bahwa segenap elemen desa dan perdesaan perlu memberikan masukan beserta argumen yang kuat atas masukan atau usulan yang diberikan. Semoga moment rapat terbatas 26 nopember 2010 ini dapat menjadi moment penting untuk membawa perbaikan bagi desa, kepala desa, perangkat desa dan masyarakat perdesaan Indonesia.

Semoga segenap elemen pejuang desa dan pedesaan mampu memberikan masukan dengan alasan yang mendasar seperti yang juga disampaikan oleh Priyo Budi Santoso ( Wakil Ketua DPR RI bisang Hukum dan Pemerintahan), Taufik Effendi dan Abdul Hakam Naja ( Komisi II ) beberapa saat lalu saat penerima Forum Kepala Desa Berprestasi Propinsi DIY. [DSA]


Oleh : Surjokotjo Adiprawiro
Apabila di dalam artikel atau tulisan ini terdapat kesalahan atau kekurangan,
mohon koreksi dan pelengkapan data sampaikan ke redaksi@ppdi.or.id
◄ Newer Post Older Post ►
 

Copyright 2011 Kisah dunia